Hukum
Tertawa Menurut Syariat Islam - Di dalam kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah
disebutkan Tertawa bisa berupa tersenyum atau terbahak-bahak. Pada dasarnya
Adapun
tertawa dengan terbahak-bahak maka para ulama memakruhkannya dan melarangnya
jika hal itu banyak dilakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jangan sering tertawa
karena seringnya tertawa itu mematikan hati." Tsabit al Bananiy
mengatakan, ”Tertawanya seorang mukmin adalah bagian dari kelalaiannya yaitu
kelalaian terhadap perkara akherat dan jika dirinya tidak lalai maka tidaklah
ia tertawa.” (hal. 10083)
Jadi
pada dasarnya tertawa adalah sesuatu yang mubah (boleh) selama tidak kebanyakan
(berlebihan) karena hal itu dapat mematikan hati, menjadikannya tertipu, berada
di dalam kegelapan dan melupakan perkara-perkara akherat, sebagaimana apa yang
diriwayatkan Oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
”Jangan sering tertawa karena seringnya tertawa itu mematikan hati."
Imam Nawardi di dalam kitabnya Adab ad Dunia
wa ad Diin menyebutkan bahwa tertawa sesungguhnya kebiasaan yang dapat
menyibukkannya dari melihat perkara-perkara penting, melalaikan dari berfikir
terhadap berbagai musibah yang memilukan. Orang yang banyak tertawa tidaklah
memiliki kehormatan dan kemuliaan. Diriwayatkan Oleh Abu Idris al Khulani dari
Abu Dzar al Ghifari berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Waspadalah
kamu terhadap banyak tertawa. Sesungguhnya ia dapat mematikan hati dan
menghilangkan cahaya wajah (mu).”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas terhadap firman Allah SWT :
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas terhadap firman Allah SWT :
هَٰذَا
الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ
Artinya
: “Kitab Apakah ini yang
tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia
mencatat semuanya.”
(QS. Al Kahfi [18] : 49), Sesungguhnya yang kecil di situ adalah tertawa.
Adapun
tentang melawak —disebutkan didalam Fatawa al Azhar— bahwa ia adalah sesuatu,
baik berupa perkataan maupun perbuatan yang didominasi oleh tertawa, memasukkan
kebahagiaan didalam jiwa maka hukumnya tergantung pada tujuan darinya serta
uslub (cara-cara) yang digunakan di dalamnya. Apabila tujuannya adalah menghina
atau merendahkan (orang lain) atau menggunakan cara-cara dusta maka hal itu
dilarang dan jika tidak terdapat hal-hal demikian maka tidaklah dilarang, ia
seperti canda. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
pernah bercanda dan tidaklah dia mengatakan kecuali kebenaran, sebagaimana
diriwayatkan oleh Ahmad dan terdapat didalam sunan at Tirmidzi, ”Sesungguhnya
Anda bercanda dengan kami,” Beliau bersabda: "Sesungguhnya aku tidaklah
mengatakan sesuatu kecuali yang benar", ini adalah hadits hasan.
Di
antara beberapa peristiwa, disebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang berkata
kepadanya, ”Bawalah aku di atas onta.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Bahkan kami akan membawamu
di atas anak onta.” Orang itu berkata, ”Bagaimana aku melakukannya?
Sesungguhnya ia tidaklah bisa membawaku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidak ada satu onta pun
kecuali dia adalah anak onta.” Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan
dishahihkan olehnya. Didalam “al Adzkar” milik Imam Nawawi hal 322 disebutkan
bahwa yang bertanya adalah seorang wanita.
Saya
mengingatkan untuk menyedikitkan tertawa dan janganlah selalu tertawa karena
hal itu bisa menjadikannya haram, disebutkan di dalam hadits, "Bisa jadi
seseorang mengatakan satu patah kata yang menurutnya tidak apa-apa tapi dengan
kalimat itu ia jatuh ke neraka selama tujuh puluh tahun." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Umar
berkata, ”Barangsiapa yang banyak tertawa maka sedikit kemuliaannya,
barangsiapa yang bercanda maka dia akan diremehkan.” Umar bin Abdul Aziz
berkata, ”Bertakwalah kepada Allah dan waspadalah terhadap canda. Sesungguhnya
canda dapat mewariskan kedengkian dan membawanya kepada keburukan.” Imam Nawawi
di dalam kitabnya itu mengatakan bahwa para ulama berkata, ”Sesungguhnya canda
yang dilarang adalah yang kebanyakan dan berlebihan karena ia dapat mengeraskan
hati dan menyibukkannya dari dzikrullah dan menjadikan kebanyakan waktu untuk
menyakiti, memunculkan kebencian, merendahkan kehormatan dan kemuliaan. Adapun
canda yang tidak seperti demikian maka tidaklah dilarang. Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sedikit
melakukan canda untuk suatu kemaslahatan, menyenangkan dan menghibur jiwa. Dan
yang seperti ini tidaklah dilarang sama sekali bahkan menjadi sunnah yang
dianjurkan apabila dilakukan dengan sifat yang demikian. Maka bersandarlah
dengan apa yang telah kami nukil dari para ulama dan telah kami teliti dari
hadits-hadits dan penjelasan hukum-hukumnya dan hal itu karena besarnya
kebutuhkan terhadapnya. wa
billah at Taufiq
(Fatawa al Azhar juz X hal 225
Tidak ada komentar:
Posting Komentar