Disebuah desa terpencil di Jazirah Arab, hidup seorang anak remaja bernama Al-Haitami.
Suatu hari ia disuruh guru sekaligus bapaknya untuk meneruskan belajar
dengan merantau mencari ilmu. Maka pagi-pagi benar setelah sholat subuh
berangkatlah remaja itu. Setelah sehari penuh berjalan melewati gurun
pasir, masuk kampung keluar kampung, dan naik turun bukit, sampailah ia
disebuah pesantren yang diasuh oleh seorang guru tersohor bernama
An-Nawawi .
Berikutnya Al-Haitami mulai mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh gurunya. Sering sekali ia dimarahi oleh gurunya karena sangat bebalnya otak alias saking bodohnya. Beberapa bulan kemudian mulai timbul rasa bosan dalam benaknya, karena rasa-rasanya tidak ada satupun ilmu yang diajarkan gurunya yang mampir dalam ingatannya. Ditambah lagi seringnya ia dihukum oleh gurunya berdiri di depan kelas karena kebodohannya dan daya ingatnya yang jelek, membuat dirinya jadi bahan olokan teman-temannya. Rasa jengkel dan malu jadi makanan pokok tiap hari. Tetapi Al-Haitami masih berusaha bertahan dengan sabar untuk tetap belajar dipesantren itu.
Setelah beberapa tahun berlalu, dan keadaan masih tetap sama tanpa ada peningkatan sedikitpun, maka remaja kecil bernama Al-Haitami itu memutuskan untuk pulang saja kerumah, dari pada jauh-jauh belajar tak dapat ilmu, lebih baik pulang membantu orang tuanya bertani. Maka pada suatu sore ia menuju ke rumah gurunya untuk mohon pamit.
Setelah beberapa jam berjalan dibawah sinar matahari yang terik membakar, Al-Haitami lalu beristirahat dibawah sebuah pohon yang cukup besar dan sangat rindang dipinggir sebuah sungai yang sangat jernih airnya. Beberapa saat setelah keringatnya kering, ia lalu membersihkan badannya disungai itu, lalu membuka makanan perbekalannya pemberian sahabat-sahabatnya dipesantren.
“Wah, aku harus mencari tempat untuk berteduh, dari pada nanti kehujanan” gumannya dalam hati.
Dari kejauhan Al-Haitami melihat sebuah gua, maka bergegas ia berlari. Beberapa saat kemudian ia sudah berada dimulut sebuah gua yang cukup besar dan panjang. Sementara diluar hujan sudah mulai turun. Didalam gua itu ada sungai kecil yang airnya sangat jernih. Setelah membersihkan dirinya, lalu ia sholat. Pada saat Al-Haitami khusyuk berdzikir setelah sholat, telinganya menangkap sebuah suara tetesan-tetesan air yang mengenai batu dengan teratur, suaranya sangat jelas dan menggema. Setelah ia teliti ternyata tetesan air itu mengenai batu hitam legam didekat ia duduk.
Lama sekali Al-Haitami memperhatikan tetesan air yang mengenai batu itu. Lalu ia perhatikan batu itu, ternyata batu itu adalah batu yang terkenal sangat keras. Beberapa saat kemudian, Al-Haitami baru sadar ternyata batu itu terkikis menjadi cekungan akibat tetesan-tetesan air yang jatuh dari atap gua.
“Batu saja yang sangat keras dapat terkikis dan berlubang hanya oleh tetesan air yang sangat kecil yang mengenainya terus menerus …, apalagi otak manusia yang sangat lunak” renungnya lama sekali. “Aku yakin, apabila aku belajar terus menerus dengan penuh keuletan dan kesungguhan pasti aku akan berhasil” kata Al-Haitami dalam hati.
Lalu ia ingat akan seekor katak tadi. Ingatnnya menerawang tentang usaha katak yang tak kenal menyerah guna mencapai tujuan.
“Katak saja yang tidak dikarunia akal bisa mencapai tujuan dengan usaha kerasnya, apalagi manusia yang diberi kelebihan akal dan hati. Pasti dengan usaha kerasku yang tak kenal menyerah aku dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan oleh guruku” renungnya sendirian.
Al-Haitami juga ingat nasehat gurunya, yang ternyata ia telah mendapatkan hikmah-hikmah yang sangat berharga dari makhluk Tuhan yang jauh lebih rendah dibanding dirinya, yaitu dari seekor katak dan batu.
Saking asyiknya Al-Haitami larut dalam pikiran dan ingatannya, tak terasa dari tadi matahari telah kembali bersinar terang karena hujan sudah reda. “Yah …, aku harus kembali kepesantren lagi” tekadnya dalam hati penuh semangat. Maka dengan langkah yang sangat tegap dan mantap ia berjalan dengan cepat dan lincah kembali kepesantrennya.
Kemudian dengan penuh kesungguhan dan keuletan, akhirnya Al-Haitami menjadi murid yang paling pandai dan cerdas diantara murid-murid An-Nawawi lainnya. Dan karena ia mendapatkan hikmah atau pelajaran dari batu, maka ia diberi julukan “ibnu hajar” yang berarti putra batu. Maka setelah ia tamat dari pesantrennya namanya terkenal dengan Ibnu Hajar Al-Haitami
sumber : http://adehumaidi.com/islam/kisah-teladan-imam-al-haitami
Berikutnya Al-Haitami mulai mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh gurunya. Sering sekali ia dimarahi oleh gurunya karena sangat bebalnya otak alias saking bodohnya. Beberapa bulan kemudian mulai timbul rasa bosan dalam benaknya, karena rasa-rasanya tidak ada satupun ilmu yang diajarkan gurunya yang mampir dalam ingatannya. Ditambah lagi seringnya ia dihukum oleh gurunya berdiri di depan kelas karena kebodohannya dan daya ingatnya yang jelek, membuat dirinya jadi bahan olokan teman-temannya. Rasa jengkel dan malu jadi makanan pokok tiap hari. Tetapi Al-Haitami masih berusaha bertahan dengan sabar untuk tetap belajar dipesantren itu.
Setelah beberapa tahun berlalu, dan keadaan masih tetap sama tanpa ada peningkatan sedikitpun, maka remaja kecil bernama Al-Haitami itu memutuskan untuk pulang saja kerumah, dari pada jauh-jauh belajar tak dapat ilmu, lebih baik pulang membantu orang tuanya bertani. Maka pada suatu sore ia menuju ke rumah gurunya untuk mohon pamit.
‘As-salamu ‘alaikum …” ucap Al-Haitami setelah mengetuk pintu.
“Wa ‘alaikum salam wa Rohmatullah …” jawab gurunya dari dalam rumah, lalu membuka pintu.
“Eh, kamu Al-Haitami, ayo masuk …..” ajak gurunya kemudian sambil memandang muridnya yang dari tadi menunduk.
“Ya, Guru ….” jawab Al-Haitami setelah menyalami gurunya dan mencium tangannya.
Sambil tetap menunduk, Al-Haitami duduk bersila didepan gurunya.
“Ada apa muridku ?” tanya An-Nawawi memecah keheningan.
“Begini guru …., tapi sebelumnya saya mohon maaf kepada Guru ….” ucap Al-Haitami sambil terus menunduk.
“Ya, ada apa ?” tanya An-Nawawi penuh kelembutan dan kesabaran.
“Guru …, aku rasa selama saya belajar disini tak ada satu ilmupun bisa aku dapatkan …” kata Al-Haitami membuka permasalahannya.
“Lalu …?” tanya gurunya sambil menatap muridnya yang semakin dalam menunduk dengan tatapan yang lembut.
“Saya mau pulang …, dan membantu orang tua saya dirumah, Guru ….” jawab Al-Haitami dengan suara yang makin pelan.
“O …, begitu “ kata An-Nawawi dengan sabarnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kapan berangkatnya ?”
“Kalau Guru mengijinkan, besok pagi sehabis sholat subuh, Guru …”
jawab Al-Haitami mulai agak berseri karena permohonannya sepertinya
akan dikabulkan.
“Yah, aku ijinkan. Hati-hati dijalan, semoga selamat sampai rumah …” kata gurunya.
Maka pada pagi harinya setelah sholat subuh dan setelah berpamitan
kepada gurunya dan sahabat-sahabatnya, Al-Haitami berangkat pulang.
Sambil berjalan ia selalu ingat akan nasehat gurunya :“Hikmah itu ada
dimana-mana, muridku …”, dan mungkin itu adalah satu-satunya pelajaran
gurunya yang berhasil menempel erat dalam ingatannya.
Al-Haitami Mendapatkan Hikmah
Setelah beberapa jam berjalan dibawah sinar matahari yang terik membakar, Al-Haitami lalu beristirahat dibawah sebuah pohon yang cukup besar dan sangat rindang dipinggir sebuah sungai yang sangat jernih airnya. Beberapa saat setelah keringatnya kering, ia lalu membersihkan badannya disungai itu, lalu membuka makanan perbekalannya pemberian sahabat-sahabatnya dipesantren.
Ditengah-tengah menikmati makanannya, Al-Haitami dikejutkan oleh
suara benda yang jatuh kesungai berulang-ulang. Setelah matanya
berkeliling mencari sumber suara tadi, matanya tertumbuk pada seekor
katak yang sedang melompat-lompat ingin naik ketepi sungai. Setiap kali
lompatannya tidak berhasil sampai diatas katak itu jatuh, ia melompat
lagi. Jatuh lagi, melompat lagi, jatuh lagi, melompat lagi. Begitu
seterusnya sampai akhirnya ia berhasil melompat keatas. “Hebat sekali
usaha katak itu” guman Al-Haitami dalam hati.
Setelah rasa letihnya berkurang, Al-Haitami melanjutkan perjalanan.
Beberapa jam kemudian, Matahari sudah berada tepat diatasnya. Sinarnya
lama kelamaan semakin redup karena tetutup mendung tanda sebentar lagi
akan turun hujan.“Wah, aku harus mencari tempat untuk berteduh, dari pada nanti kehujanan” gumannya dalam hati.
Dari kejauhan Al-Haitami melihat sebuah gua, maka bergegas ia berlari. Beberapa saat kemudian ia sudah berada dimulut sebuah gua yang cukup besar dan panjang. Sementara diluar hujan sudah mulai turun. Didalam gua itu ada sungai kecil yang airnya sangat jernih. Setelah membersihkan dirinya, lalu ia sholat. Pada saat Al-Haitami khusyuk berdzikir setelah sholat, telinganya menangkap sebuah suara tetesan-tetesan air yang mengenai batu dengan teratur, suaranya sangat jelas dan menggema. Setelah ia teliti ternyata tetesan air itu mengenai batu hitam legam didekat ia duduk.
Lama sekali Al-Haitami memperhatikan tetesan air yang mengenai batu itu. Lalu ia perhatikan batu itu, ternyata batu itu adalah batu yang terkenal sangat keras. Beberapa saat kemudian, Al-Haitami baru sadar ternyata batu itu terkikis menjadi cekungan akibat tetesan-tetesan air yang jatuh dari atap gua.
“Batu saja yang sangat keras dapat terkikis dan berlubang hanya oleh tetesan air yang sangat kecil yang mengenainya terus menerus …, apalagi otak manusia yang sangat lunak” renungnya lama sekali. “Aku yakin, apabila aku belajar terus menerus dengan penuh keuletan dan kesungguhan pasti aku akan berhasil” kata Al-Haitami dalam hati.
Lalu ia ingat akan seekor katak tadi. Ingatnnya menerawang tentang usaha katak yang tak kenal menyerah guna mencapai tujuan.
“Katak saja yang tidak dikarunia akal bisa mencapai tujuan dengan usaha kerasnya, apalagi manusia yang diberi kelebihan akal dan hati. Pasti dengan usaha kerasku yang tak kenal menyerah aku dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan oleh guruku” renungnya sendirian.
Al-Haitami juga ingat nasehat gurunya, yang ternyata ia telah mendapatkan hikmah-hikmah yang sangat berharga dari makhluk Tuhan yang jauh lebih rendah dibanding dirinya, yaitu dari seekor katak dan batu.
Saking asyiknya Al-Haitami larut dalam pikiran dan ingatannya, tak terasa dari tadi matahari telah kembali bersinar terang karena hujan sudah reda. “Yah …, aku harus kembali kepesantren lagi” tekadnya dalam hati penuh semangat. Maka dengan langkah yang sangat tegap dan mantap ia berjalan dengan cepat dan lincah kembali kepesantrennya.
Kemudian dengan penuh kesungguhan dan keuletan, akhirnya Al-Haitami menjadi murid yang paling pandai dan cerdas diantara murid-murid An-Nawawi lainnya. Dan karena ia mendapatkan hikmah atau pelajaran dari batu, maka ia diberi julukan “ibnu hajar” yang berarti putra batu. Maka setelah ia tamat dari pesantrennya namanya terkenal dengan Ibnu Hajar Al-Haitami
sumber : http://adehumaidi.com/islam/kisah-teladan-imam-al-haitami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar