Tentang Anak Jalanan
Lalu apa sebenarnya yang terjadi dengan anak-anak ini? Mereka yang tergolong kecil dan masih dalam tanggung jawab orang tuanya harus berjuang meneruskan hidup sebagai anak jalanan dan terkadang mereka menjadi sasaran tindak kekerasan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Tapi ada juga sebagian orang tua yang dengan alasan untuk membantu ekonomi keluarga, menganjurkan agar anak-anaknya untuk menghabiskan masa kecilnya sebagai anak jalanan, jika kita melihat potret anak bangsa yang malang ini, seharusnya hati kita tergugah, kita bersukur, karena ternyata masih banyak saudara-saudara kita di luar sana yang hidupnya kurang beruntung, yang tidak bisa bersekolah. Oleh karenanya, bersukurlah, dan gunakanlah kesempatan yang kalian miliki ini dengan sebaik-baiknya, jangan sampai kalian menyesal dikemudian hari.... dan belajarlah untuk perduli pada sesama, belajarah untuk membantu mereka sesui dengan kemampuan kita, meski hanya dengan mendoakan mereka, agar kehidupan mereka bisa lebih baik... amiin
COBA KALIAN LIHAT POTRET ANAK BANGSA PADA CERITA DI BAWAH INI, semoga menjadi motivasi untuk kalian, agar lebih semangat belajar....
Siapa yang tidak tahu film Laskar Pelangi? Film yang diangkat dari novel ciptaan Andrea Hirata itu menceritakan bagaimana besarnya semangat anak-anak di desa Belitung dalam menuntut ilmu demi menggapai cita-cita dengan segala keterbatasan. Dengan gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai, dan tanpa seragam, kesepuluh siswa SD Muhammadiyah tersebut tetap bersemangat menuntut ilmu, sampai akhirnya mereka berhasil menjuarai lomba cerdas cermat.
Kenyataannya, hal seperti itu memang terjadi di dunia ini, khususnya di negara kita, Indonesia. Beberapa daerah pedalaman di Indonesia masih minim akan pendidikan seperti di pedalaman atau pegunungan Papua, seperti daerah Wamena, dan sebagainya. Masalah utama yang menyebabkan minimnya pendidikan adalah kurangnya fasilitas, akses, dan tenaga pengajar. Salah satu contoh adalah, kegiatan belajar mengajar harus dilakukan setelah menempuh perjalanan selama berjam-jam, dan terkadang harus melewati sungai-sungai. Selain itu, karena tidak ada fasilitas yang mendukung, membuat kegiatan belajar mengajar tersebut terpaksa dilakukan diluar ruangan, dibawah pepohonan, bahkan sampai menumpang di rumah-rumah warga setempat. Semangat anak-anak itu terlihat jelas dari cara mereka belajar. Bukan hanya mengandalkan pendidikan resmi di sekolah, mereka membaca apa saja yang dapat mereka baca, seperti surat kabar, majalah bekas, dan lain sebagainya.
Sebagai contohnya, saya akan membahas tentang beberapa tempat yang minim akan pendidikan, namun penuh dengan anak-anak yang haus akan ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah sebuah kampung kecil di pedalaman Papua bernama kampung Seiya. Pada tahun 1952, Belanda membangun satu-satunya sekolah dasar di kampung Seiya. Belanda juga memberikan subsidi kepada sekolah dasar di kampung tersebut, dan sekolah dasar itu berhasil menghasilkan banyak lulusan menjadi sarjana. Namun sayangnya, sejak berada dibawah pengelolaan Republik Indonesia pada tahun 2001, operasi sekolah dasar tersebut mulai memburuk, dan semakin merosot. Hingga akhirnya pada tahun 2005 satu-satunya sekolah dasar tersebut benar-benar berhenti beroperasi. Sekolah dasar tersebut hanya memiliki seorang kepala sekolah yang juga merangkap sebagai guru. Belakangan, kepala sekolah tersebut juga mulai tidak masuk untuk mengajar. Sehingga, proses belajar mengajar jadi terhambat dan setidaknya 30 anak terlantarkan. Karena itu, banyak orang tua yang memindahkan anak-anaknya ke SD di kampung sebelah.
Kemudian pada tahun 2010, seorang pastor bersama seorang guru honorer menghidupkan kembali sekolah dasar tersebut. Tetapi masalah biaya kembali menghambat berjalannya proses belajar mengajar di sekolah dasar tersebut. Guru honorer tersebut sudah tidak digaji selama kurang lebih enam bulan. Akibatnya, untuk membuat guru tersebut tetap mengajar, para warga setempat harus mengumpulkan dana untuk menggaji guru honorer tersebut. Kebanyakan guru tidak mau mengajar di kampung tersebut dikarenakan tidak betah dengan minimnya sarana dan prasarana, serta fasilitas seperti tidak adanya buku paket, bahkan buku pegangan untuk guru, ruang kelas yang tidak sebanding dengan banyaknya jumlah siswa, dan lain-lain.
Pengalaman serupa juga pernah dialami oleh salah satu guru kursus saya dulu. Guru saya pernah menjadi pengajar sukarela disalah satu daerah pedalaman Papua yang masih minim pendidikannya. Guru saya yang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia itu mengaku terkejut, juga terharu dengan semangat belajar anak-anak pedalaman Papua tersebut. Walaupun mereka hanya belajar di pondok kecil ditengah-tengah hutan, dengan sepotong papan tulis kecil, dan buku-buku tulis yang lusuh. Bahkan anak-anak tersebut datang ke 'sekolah' tempat guru saya mengajar tanpa menggunakan baju dan celana. Mereka hanya menggunakan sehelai daun yang menutupi beberapa bagian dbawah tubuhnya. Menurut cerita dari guru saya, saking semangatnya mereka dalam menuntut ilmu, mereka selalu datang setiap hari untuk belajar. Jangankan bolos kaerna sakit, bahkan mereka rela menahan untuk buang air demi menerima pelajaran. Saat itu, guru saya sedang menjelaskan pelajarannya tapi ada anak yang memperhatikan dengan gelisah. Ketika ditanya, anak itu bilang kalau dia ingin buang air kecil, tapi tidak mau melewatkan pelajaran. Jadi, dia meminta guru saya untuk menghentikan pelajaran sebentar sampai dia selesai membuang air. Saat membuang air disekitar pondok belajar tersebut, anak itu selalu berteriak supaya guru saya tidak memulai pelajaran dulu.
Bukan hanya daerah di Papua, minimnya pendidikan juga terjadi di daerah Mentawai, Sumatra Barat. Daerah Mentawai yang dipisahkan oleh samudra Hindia dari pulau Sumatra, dan kondisi alam yang tidak dapat diprediksi menjadikan Mentawai sebagai salah satu daerah yang terisolasi, karena sulitnya transportasi kesana. Faktor-faktor diatas menyebabkan lambatnya pembangunan didaerah Mentawai tersebut, termasuk sektor pendidikan. Seperti yang terjadi di daerah Papua, dan daerah-daerah terpencil lainnya, keterbatasan jumlah guru yang tidak sesuai dengan jumlah anak didik menjadi salah satu kendala untuk membangun generasi Mentawai yang berpendidikan. Padahal, antusias masyarakat Mentawai untuk mendapatkan pendidikan sangatlah besar. Menurut data statistik yang diterima dari Pemprop Sumatra Barat menyebutkan bahwa setidaknya masyarakat Mentawai yang pernah mengecap pendidikan tidak lebih dari 9% atau kurang lebih sekitar 7.676 orang. Ironisnya, sebagian dari masyarakat Mentawai yang menerima pendidikan tersebut hanya sampai tingkat SMP.
Kisah seputar semangat belajar anak-anak di daerah terpencil juga dialami oleh sebuah Madrasah di desa Cikidit, provinsi Banten. Madrasah yang sedang digunakan untuk proses belajar mengajar tersebut tiba-tiba ambruk. Akibatnya, banyak siswa yang terluka, bahkan seorang siswi bernama Sukniyah akhirnya kembali menghadap sang Maha Kuasa.
Awalnya, proses belajar mengajar dilakukan di Mushola-Mushola, dan dirumah warga. Namun antusias dan semangat para orang tua untuk memberi akses pendidikan kepada anak-anaknya yang akhirnya membuat warga setempat bergotong royong membangun Madrasah dengan kayu bambu dan atam rumbia. Kemudian pemda Banten memberi dana sekitar 10 juta untuk perbaikan atap, lantai dan pintu Madrasah tersebut. Dan proses belajar mengajarpun berjalan lancar dengan bantuan 4 orang guru sukarelawan, sampai akhirnya Madrasah tersebuh ambruk pada tanggal 3 Oktober 2011 silam.
Tetapi sebenarnya, di kota-kota besar seperti Jakarta juga tidak sedikit anak-anak yang memiliki semangat belajar, namun tidak dapat mengecap pendidikan di sekolah karena masalah biaya. Dan kebalikannya, dibandingkan anak-anak yang kurang mampu seperti diatas, sangat banyak anak-anak yang memiliki fasilitas lengkap dan akses mudah untuk memperoleh pendidikan, namun mereka menyia-nyiakannya. Sebagian dari anak-anak kota yang mayorias orang tuanya adalah masyarakat berpenghasilan menengah keatas sangat jarang menuntut ilmu dengan serius. Mereka hanya ke sekolah untuk bertemu dan bercanda dengan teman-teman, dan melakukan hal sia-sia lainnya. Tidak sedikit juga dari mereka yang melakukan tawuran dan meresahkan semua warga. Harusnya, mereka bersyukur dapat bersekolah dengan nyaman dan fasilitas lengkap, dan seharusnya mereka memiliki semangat belajar yang lebih baik dari pada anak-anak dari desa tertinggal.
Kenyataannya, hal seperti itu memang terjadi di dunia ini, khususnya di negara kita, Indonesia. Beberapa daerah pedalaman di Indonesia masih minim akan pendidikan seperti di pedalaman atau pegunungan Papua, seperti daerah Wamena, dan sebagainya. Masalah utama yang menyebabkan minimnya pendidikan adalah kurangnya fasilitas, akses, dan tenaga pengajar. Salah satu contoh adalah, kegiatan belajar mengajar harus dilakukan setelah menempuh perjalanan selama berjam-jam, dan terkadang harus melewati sungai-sungai. Selain itu, karena tidak ada fasilitas yang mendukung, membuat kegiatan belajar mengajar tersebut terpaksa dilakukan diluar ruangan, dibawah pepohonan, bahkan sampai menumpang di rumah-rumah warga setempat. Semangat anak-anak itu terlihat jelas dari cara mereka belajar. Bukan hanya mengandalkan pendidikan resmi di sekolah, mereka membaca apa saja yang dapat mereka baca, seperti surat kabar, majalah bekas, dan lain sebagainya.
Sebagai contohnya, saya akan membahas tentang beberapa tempat yang minim akan pendidikan, namun penuh dengan anak-anak yang haus akan ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah sebuah kampung kecil di pedalaman Papua bernama kampung Seiya. Pada tahun 1952, Belanda membangun satu-satunya sekolah dasar di kampung Seiya. Belanda juga memberikan subsidi kepada sekolah dasar di kampung tersebut, dan sekolah dasar itu berhasil menghasilkan banyak lulusan menjadi sarjana. Namun sayangnya, sejak berada dibawah pengelolaan Republik Indonesia pada tahun 2001, operasi sekolah dasar tersebut mulai memburuk, dan semakin merosot. Hingga akhirnya pada tahun 2005 satu-satunya sekolah dasar tersebut benar-benar berhenti beroperasi. Sekolah dasar tersebut hanya memiliki seorang kepala sekolah yang juga merangkap sebagai guru. Belakangan, kepala sekolah tersebut juga mulai tidak masuk untuk mengajar. Sehingga, proses belajar mengajar jadi terhambat dan setidaknya 30 anak terlantarkan. Karena itu, banyak orang tua yang memindahkan anak-anaknya ke SD di kampung sebelah.
Kemudian pada tahun 2010, seorang pastor bersama seorang guru honorer menghidupkan kembali sekolah dasar tersebut. Tetapi masalah biaya kembali menghambat berjalannya proses belajar mengajar di sekolah dasar tersebut. Guru honorer tersebut sudah tidak digaji selama kurang lebih enam bulan. Akibatnya, untuk membuat guru tersebut tetap mengajar, para warga setempat harus mengumpulkan dana untuk menggaji guru honorer tersebut. Kebanyakan guru tidak mau mengajar di kampung tersebut dikarenakan tidak betah dengan minimnya sarana dan prasarana, serta fasilitas seperti tidak adanya buku paket, bahkan buku pegangan untuk guru, ruang kelas yang tidak sebanding dengan banyaknya jumlah siswa, dan lain-lain.
Pengalaman serupa juga pernah dialami oleh salah satu guru kursus saya dulu. Guru saya pernah menjadi pengajar sukarela disalah satu daerah pedalaman Papua yang masih minim pendidikannya. Guru saya yang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia itu mengaku terkejut, juga terharu dengan semangat belajar anak-anak pedalaman Papua tersebut. Walaupun mereka hanya belajar di pondok kecil ditengah-tengah hutan, dengan sepotong papan tulis kecil, dan buku-buku tulis yang lusuh. Bahkan anak-anak tersebut datang ke 'sekolah' tempat guru saya mengajar tanpa menggunakan baju dan celana. Mereka hanya menggunakan sehelai daun yang menutupi beberapa bagian dbawah tubuhnya. Menurut cerita dari guru saya, saking semangatnya mereka dalam menuntut ilmu, mereka selalu datang setiap hari untuk belajar. Jangankan bolos kaerna sakit, bahkan mereka rela menahan untuk buang air demi menerima pelajaran. Saat itu, guru saya sedang menjelaskan pelajarannya tapi ada anak yang memperhatikan dengan gelisah. Ketika ditanya, anak itu bilang kalau dia ingin buang air kecil, tapi tidak mau melewatkan pelajaran. Jadi, dia meminta guru saya untuk menghentikan pelajaran sebentar sampai dia selesai membuang air. Saat membuang air disekitar pondok belajar tersebut, anak itu selalu berteriak supaya guru saya tidak memulai pelajaran dulu.
Bukan hanya daerah di Papua, minimnya pendidikan juga terjadi di daerah Mentawai, Sumatra Barat. Daerah Mentawai yang dipisahkan oleh samudra Hindia dari pulau Sumatra, dan kondisi alam yang tidak dapat diprediksi menjadikan Mentawai sebagai salah satu daerah yang terisolasi, karena sulitnya transportasi kesana. Faktor-faktor diatas menyebabkan lambatnya pembangunan didaerah Mentawai tersebut, termasuk sektor pendidikan. Seperti yang terjadi di daerah Papua, dan daerah-daerah terpencil lainnya, keterbatasan jumlah guru yang tidak sesuai dengan jumlah anak didik menjadi salah satu kendala untuk membangun generasi Mentawai yang berpendidikan. Padahal, antusias masyarakat Mentawai untuk mendapatkan pendidikan sangatlah besar. Menurut data statistik yang diterima dari Pemprop Sumatra Barat menyebutkan bahwa setidaknya masyarakat Mentawai yang pernah mengecap pendidikan tidak lebih dari 9% atau kurang lebih sekitar 7.676 orang. Ironisnya, sebagian dari masyarakat Mentawai yang menerima pendidikan tersebut hanya sampai tingkat SMP.
Kisah seputar semangat belajar anak-anak di daerah terpencil juga dialami oleh sebuah Madrasah di desa Cikidit, provinsi Banten. Madrasah yang sedang digunakan untuk proses belajar mengajar tersebut tiba-tiba ambruk. Akibatnya, banyak siswa yang terluka, bahkan seorang siswi bernama Sukniyah akhirnya kembali menghadap sang Maha Kuasa.
Awalnya, proses belajar mengajar dilakukan di Mushola-Mushola, dan dirumah warga. Namun antusias dan semangat para orang tua untuk memberi akses pendidikan kepada anak-anaknya yang akhirnya membuat warga setempat bergotong royong membangun Madrasah dengan kayu bambu dan atam rumbia. Kemudian pemda Banten memberi dana sekitar 10 juta untuk perbaikan atap, lantai dan pintu Madrasah tersebut. Dan proses belajar mengajarpun berjalan lancar dengan bantuan 4 orang guru sukarelawan, sampai akhirnya Madrasah tersebuh ambruk pada tanggal 3 Oktober 2011 silam.
Tetapi sebenarnya, di kota-kota besar seperti Jakarta juga tidak sedikit anak-anak yang memiliki semangat belajar, namun tidak dapat mengecap pendidikan di sekolah karena masalah biaya. Dan kebalikannya, dibandingkan anak-anak yang kurang mampu seperti diatas, sangat banyak anak-anak yang memiliki fasilitas lengkap dan akses mudah untuk memperoleh pendidikan, namun mereka menyia-nyiakannya. Sebagian dari anak-anak kota yang mayorias orang tuanya adalah masyarakat berpenghasilan menengah keatas sangat jarang menuntut ilmu dengan serius. Mereka hanya ke sekolah untuk bertemu dan bercanda dengan teman-teman, dan melakukan hal sia-sia lainnya. Tidak sedikit juga dari mereka yang melakukan tawuran dan meresahkan semua warga. Harusnya, mereka bersyukur dapat bersekolah dengan nyaman dan fasilitas lengkap, dan seharusnya mereka memiliki semangat belajar yang lebih baik dari pada anak-anak dari desa tertinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar