Senin, 24 September 2012

Tertawa Dalam Pandangan Islam

Hukum Tertawa Menurut Syariat Islam - Di dalam kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah disebutkan Tertawa bisa berupa tersenyum atau terbahak-bahak. Pada dasarnya
Jika ia berupa senyuman maka diperbolehkan menurut kesepekatan para ulama bahkan hal itu pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menganjurkannya sebagaimana terdapat dalam hadits Abdullah bin al Harits yang mengatakan, ”Tertawanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanya sekedar senyum." (HR. Tirmidzi) Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah.” (HR. Tirmidzi)
Adapun tertawa dengan terbahak-bahak maka para ulama memakruhkannya dan melarangnya jika hal itu banyak dilakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jangan sering tertawa karena seringnya tertawa itu mematikan hati." Tsabit al Bananiy mengatakan, ”Tertawanya seorang mukmin adalah bagian dari kelalaiannya yaitu kelalaian terhadap perkara akherat dan jika dirinya tidak lalai maka tidaklah ia tertawa.” (hal. 10083)

Jadi pada dasarnya tertawa adalah sesuatu yang mubah (boleh) selama tidak kebanyakan (berlebihan) karena hal itu dapat mematikan hati, menjadikannya tertipu, berada di dalam kegelapan dan melupakan perkara-perkara akherat, sebagaimana apa yang diriwayatkan Oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jangan sering tertawa karena seringnya tertawa itu mematikan hati."
Imam Nawardi di dalam kitabnya Adab ad Dunia wa ad Diin menyebutkan bahwa tertawa sesungguhnya kebiasaan yang dapat menyibukkannya dari melihat perkara-perkara penting, melalaikan dari berfikir terhadap berbagai musibah yang memilukan. Orang yang banyak tertawa tidaklah memiliki kehormatan dan kemuliaan. Diriwayatkan Oleh Abu Idris al Khulani dari Abu Dzar al Ghifari berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Waspadalah kamu terhadap banyak tertawa. Sesungguhnya ia dapat mematikan hati dan menghilangkan cahaya wajah (mu).”

Selasa, 11 September 2012

Berhiaslah dgn Rasa Malu
 

penulis Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran
Sakinah Permata Hati


Add caption
Ingar-bingar kehidupan remaja kita yg tercermin dari tata pergaulan sudah sampai pada taraf yg sangat memprihatinkan. Rasa malu seakan memunah sementara ‘keberanian’ merambati perilaku mereka

Di sudut sebuah sekolah seorang gadis kecil berseragam sekolah melenggang diiringi langkah dgn sejumlah teman laki-lakinya. tdk canggung dia melempar senyum tertawa dan bercanda dgn mereka. Di dlm kelas suatu yg lazim murid laki2 duduk bersama dan berdiskusi dgn murid perempuan. Justru suatu pemandangan yg ‘aneh’ bila ada seorang murid yg merasa malu melakukan semua itu. Gelaran ‘kuper’ ‘kutu buku’ ‘sok alim’ ‘anak kampungan’ atau yg lain bakal segera menghampirinya
Belum lagi di tempat lain yg lazim dikunjungi anak-anak ‘baru gede’ seusai sekolah atau di waktu senggang mereka. Dengan sedikit memoles bibir dgn lipstik disertai busana yg sedikit ‘berani’ mereka pun menjelajahi mal-mal. Entah benar-benar utk berbelanja atau sekedar nampang. tdk sedikit pun rasa canggung menghampiri hati mereka
Allahul musta’an Ha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah kita mengadukan segala kepahitan ini. Di kala rasa malu dlm jiwa anak-anak sudah terkikis. Mereka tdk sungkan lagi melakukan segala sesuatu yg dianggap aib oleh syariat. Benarlah apa yg pernah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg disampaikan pada kita oleh Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ “Sesungguh di antara apa yg didapati manusia dari ucapan nabi-nabi yg terdahulu adl ‘Apabila engkau tdk malu mk lakukan apa pun yg engkau mau’.” Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu mengatakan –sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu– “Yang dapat mencegah seseorang terjatuh dlm kejelekan adl rasa malu.Sehingga bila dia tinggalkan rasa malu itu seolah-olah dia diperintah secara tabiat utk melakukan segala macam kejelekan.” Sebenar apa malu itu? Para ulama menjelaskan malu hakikat adl akhlak yg dapat membawa seseorang utk meninggalkan perbuatan tercela dan mencegah dari mengurangi hak yg lainnya. Demikian dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dlm kitab beliau Riyadhush Shalihin Kitabul Adab Bab Al-Haya` wa Fadhluhu wal Hatstsu ‘alat Takhalluqi bihi

Sabtu, 08 September 2012

Kisah Teladan Imam Al-Haitami


Disebuah desa terpencil di Jazirah Arab, hidup seorang  anak remaja bernama Al-Haitami. Suatu hari ia disuruh guru sekaligus bapaknya  untuk meneruskan belajar dengan merantau mencari ilmu. Maka pagi-pagi benar setelah sholat subuh berangkatlah remaja itu. Setelah sehari penuh berjalan melewati gurun pasir, masuk kampung keluar kampung, dan naik turun bukit, sampailah ia disebuah pesantren  yang diasuh oleh seorang guru tersohor bernama An-Nawawi .
Berikutnya Al-Haitami mulai mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh gurunya. Sering sekali ia dimarahi oleh gurunya karena sangat bebalnya otak alias saking bodohnya. Beberapa bulan kemudian mulai timbul rasa bosan dalam benaknya, karena rasa-rasanya tidak ada satupun ilmu yang diajarkan gurunya yang mampir dalam ingatannya. Ditambah lagi seringnya ia dihukum oleh gurunya berdiri di depan kelas karena kebodohannya dan daya ingatnya yang jelek, membuat dirinya jadi bahan olokan teman-temannya. Rasa jengkel dan malu jadi makanan pokok tiap hari. Tetapi Al-Haitami masih berusaha bertahan dengan sabar untuk tetap belajar dipesantren itu.
Setelah beberapa tahun berlalu, dan keadaan masih tetap sama tanpa ada peningkatan sedikitpun, maka remaja kecil bernama  Al-Haitami itu memutuskan untuk pulang saja kerumah, dari pada jauh-jauh belajar tak dapat ilmu, lebih baik pulang membantu orang tuanya bertani. Maka pada suatu sore ia menuju ke rumah gurunya  untuk mohon pamit.